KABUDAYAAN DAERAH MERUPAKAN SUMBER KEBUDAYAAN NASIONAL
Bembahas tentang budaya, Indonesia memang bisa dikatakan sebagai sumber sari bebagai macam budaya yang ada. Bhineka Tungga Ika di Indonesia membuat keragaman budaya yang tak terhitung, tidak hanya kekayan alam yang melimpah, budaya yang Indonesia miliki adalah harta terbesar yang juga membuat iri bangsa lain. Dari ujung tanah di sabang sampai batas terakhir di marauke, tak sejengkal pun wilayah yang luput dari kekayaan budaya.
Dan budaya itu pula yang menjadikan kita harus menjunjung persatuan dan kesatuan. Karna itulah identitas bangsa yang menjadi tanggung jawab kita untuk terus dijadikan pedoman bertanah air. Berbicara tentang kabudayaan bangsa juga erat kaitannya dengan identitas bangsa yaitu kebudayaan nasional bangsa Indonesia.
Sebagai penguat pendapat, saya mengambil beberapa referensi dari salah satu website .
Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai “puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia”. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: “Siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?”
Jawaban terhadap sederet pertanyaan di atas telah dilakukan dalam berbagai wacana mengenai pembangunan kebudayaan nasional dan pengembangan kebudayaan nasional. Namun strategi kebudayaan nasional untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak dikemukakan dan dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk dalam kongres-kongres kebudayaan yang lalu.
Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Makalah ini akan membatasi diri pada dua hal pokok yang menurut hemat penulis perlu menjadi titik-tolak utama dalam “membentuk” kebudayaan nasional, yaitu: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional. Dalam kaitan ini, “Bhineka Tunggal Ika” adalah suatu manifesto kultural (pernyataan das Sollen) dan sekaligus merupakan suatu titik-tolak strategi budaya untuk bersatu sebagai satu bangsa.
Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di antaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang kemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan sistem birokrasi nasional). Di pihak lain, kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme. Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban, sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing.
Secara internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal ini merupakan faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.
Sumber :
ü Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, Wonder: Verso.
ü Danusiri, Aryo & Wasmi Alhaziri, ed. (2002). Pendidikan Memang Multikultural: Beberapa Gagasan. Jakarta: SET.
ü Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur (2003). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.
ü Greenfeld, Leah (2001). The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press
Jadi, kebudayaan daerah adalah asal mula dari kebudayaan nasional, bermula dari kebudayaan-kebudayaan yang ada di daerah daerah di seluruh Indonesia terbentuklah kebudayaan nasional sebagai indentitas bangsa Indonesia .
Mengulas materi kebudayaan tak akan ada habisnya, setiap individu mempunyai pemeikiran dan anggapan tersendiri tentang budaya, oleh karena itulah, kebudayaan pun tak akan pernah ada habisnya, Indonesia patut bangga dengan identitas yang dimiliki. Karena identitas sangatlah penting sebagai bangsa yang mempunya kesadaran dalam bernegara dan bertanah air.
Kesadaaran itulah yang menjadi alasan untuk tetap mempunya rasa tanggung jawab dalam menjadi bangsa Indonesia yang kaya akan budaya, dan bertanggung jawab untuk tetap menjaga dan melestarikannya.